REVIEW KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
(Analisis Konseptual-Empiris Penyusunan Silabus dan RPP Standar)
Oleh:
Prof. Dr. Wayan
Lasmawan, M.Pd.
(Guru Besar Undiksha dan Asesor Rayon XXI)
Bagian Satu: Pengantar
Konstruksi masyarakat masa depan ditandai dengan
semakin menguatnya semangat Bhineka Tunggal Ika, sistim sosial yang mengakar
pada masyarakat, ekonomi yang berorientasi pasar dengan perspektif global,
akulturasi multikultur dalam berbagai, serta moralitas hukum. Hal tersebut
mengindikasikan orientasi pembangunan yang mengedepankan kepentingan mayoritas
yang berimplikasi pada perlunya upaya peningkatan mutu sember daya manusia,
peningkatan aktivitas sektor ekonomi riil, pengembangan kreativitas dan
produktivitas kelembagaan, model akomodasi multikultur masyarakat dalam bidang
pendidikan, dan pengembangan hati nurani kemanusiaan melalui sektor pendidikan.
Adalah sekolah yang paling tahu permasalahan pendidikan yang dihadapi, yang
paling tahu kebutuhannya, dan yang paling tahu kemampuan yang diperlukan untuk
menjalankan proses pendidikan.
Sekolah sebagai sistem tersusun dari komponen
konteks, input, proses, output, dan outcome. Konteks adalah
eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dan
karenanya harus diinternalisasikan ke dalam penyelenggaraan sekolah. Sekolah
yang mampu menginternalisasikan konteks kedalam dirinya akan membuat sekolah
sebagai bagian dari konteks dan bukannya terisolasi darinya. Jika demikian,
sekolah akan menjadi sekolah masyarakat dan bukannya sekolah yang berada di
masyarakat. Konteks meliputi kemajuan ipteks, nilai dan harapan masyarakat,
dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah, landasan yuridis,
tuntuan otonomi, tuntutan globalisasi, dan tuntutan pengembangan diri serta
peluang tamatan untuk melanjutkan pendidikan ataupun untuk terjun dimasyarakat.
Input sekolah adalah segala sesuatu yang diperlukan
untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar.
Input digolongkan menjadi dua yaitu yang diolah dan pengolahnya. Input yang
diolah adalah siswa dan input pengolah meliputi visi, misi, tujuan, sasaran;
kurikulum; tenaga kependidikan; dana, sarana dan prasarana, regulasi sekolah,
organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah, dan peran masyarakat
dalam mendukung sekolah.
Output pendidikan adalah hasil belajar (prestasi
belajar) yang merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar
diselenggarakan. Artinya,
prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses
belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar
dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan
daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun di masyarakat dan untuk
mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri dari daya pikir deduktif, induktif,
ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir
sistem. Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih sayang,
kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri,
tanggungjawab, keberanian moral, kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan,
ketahanan, dan keterampilan (olah raga, keterampilan kejuruan, dan kesenian).
Kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi
dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya (sumberdaya manusia dan
sumberdaya selebihnya yaitu uang, bahan, alat, bekal, dsb.), kemampuan
kerjasama, kemampuan mamanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan sistem dalam
kehidupan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejuruan, kemampuan menjaga
harmoni dengan lingkungan, kemampuan mengembangkan karir, dan kemampuan
menyatukan bangsa berdasarkan Pancasila.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari output/hasil
belajar, baik dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat. Artinya,
jika hasil belajar bagus, dampaknya juga akan bagus. Dalam kenyataan tidak
selalu demikian karena outcome dipengaruhi oleh banyak faktor diluar hasil
belajar. Outcome memiliki dua
dimensi yaitu: (1) kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan kerja, dan
(2) pengembangan diri tamatan. Sekolah yang baik mampu memberikan banyak
akses/kesempatan kepada tamatannya untuk meneruskan pendidikan berikutnya dan
kesempatan untuk memilih pekerjaan. Sekolah yang baik juga membekali siswanya
kemampuan untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan. Pengembangan diri yang
dimaksud adalah pengembangan intelektualitas dan kalbu yang dihasilkan dari proses
pembelajaran di sekolah.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni
(IPTEKS) menghadirkan seperangkat masalah dan peluang bagi manusia dalam
menjalani kehidupannya di dunia global saat ini. Peluang yang dimaksud lebih
merupakan optimalisasi kompetensi untuk bisa survive dan memainkan peran di
tengah-tengah dinamika jaman yang tidak pasti. Sementara masalah dalam konteks
ini lebih dimaknai sebagai sebuah kekhawatiran rasional dari setiap insan akan
terpinggirkan dari hangar bingarnya masyarakat global. Bertalian dengan hal
itu, dunia pendidikan sebagai “dunia maya yang teraktualisasikan” (Vico, 1882)
juga dihadapkan pada tantangan untuk tetap eksis dalam memainkan perannya
sebagai sentral transformasi nilai-nilai budaya. Adalah sebuah kenyataan yang
sangat nyata, bilamana nanti dunia pendidikan tidak lagi mampu memainkan
perannya sebagai “guru utama”, maka pada saat initalh dunia telah kehilangan
kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak, sehingga anomaly dalam anomaly
menjadi kesunyataan hidup yang tidak terhindarkan oleh setiap insane dunia
(Dewey dalam Hasan, 2004). Saat ini, untuk kasus Indonesia, tampak bahwa dunia
pendidikan tengah dihadapkan pada bivalensi pencarian mutu di tengah-tengah
pergulatan politik yang tiada pernah time
out. Secara normal, hal ini mungkin oleh sebagian kalangan adalah sebuah
kewajaran, karena pendidikan itu sendiri dalam aplikasinya senantiasa
bersentuhan dengan politik. Namun oleh kalangan tertentu, campur tangan politik
dalam pendidikan, apapun nama dan bentuknya jelas sudah merupakan pengkebiran
terstruktur terhadap pendidikan itu sendiri. Namun sekali lagi, untuk kasus
Indonesia hal itulah yang saat ini tengah terjadi dan kita rasakan bersama.
Jika apa yang disebut dengan langkah perbaikan tersetruktur dan bertujuan
(inovasi) (Rogers, 1971) dimulai dari kesunyataan sebagaimana dikedepankan di
atas, mampukan hal itu dilakukan ?, dengan cara apakah hal itu bisa dilakukan
?, dan siapakah yang mampu melakukan hal itu ?. Pertanyaan-pertanyaan di atas,
adalah sebagian dari pertanyaan yang layak dikedepankan dalam kaitannya dengan
“diskusi mutu pendidikan Indonesia”. Sejalan dengan semakin rendahnya riuh
angin reformasi yang ditabuh oleh kalangan mahasiswa di tahun 1998, tampak
bahwa pemerintah telah mulai mencanangkan “berbagai perbaikan” dalam konteks
pendidikan. Inovasi terstruktur yang masih hangat saat ini adalah “penggantian”
kurikulum 2006 (KBK) dengan kurikulum 2006 (KTSP). Perubahan ini tentu
memerlukan “upaya-upaya lain secara berkelanjutan” agar program pemerintah itu
bisa direalisasikan secara benar dan nyata, khususnya dalam meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Memang telah banyak kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan, namun tidak jarang upaya atau
kebijakan yang dilakukan justru melahirkan permasalahan baru yang lebih
kompleks. Hal ini tentu memerlukan pemikiran dan jiwa yang kreatif dan inovatif
dari berbagai kalangan, khususnya mereka yang menyatakan dirinya bernaung di
bawah kebesaran panji-panji pendidikan.
Lembaga pendidikan sebagai wahana pendidikan dan
pelatihan masyarakat potensial menjadi warga Negara yang berkualitas, harus
mampu memainkan perannya sebagai agen pembaharu dalam pembangunan sektor
pendidikan nasional (Djalal, 2002). Pembaharu yang dimaksud adalah bagaimana
lembaga pendidikan mampu menjadi pioneer bagi lahirnya pemikiran-pemikiran
inovatif yang berguna bagi pembangunan bangsa dan Negara ini kedepan. Inovasi
yang harus dilakukan, bukan saja menyangkut sisi kuantitas, namun yang
terpenting adalah sisi kualitasnya.
Adalah sebuah tindakan yang sangat sia-sia bilaman
inovasi yang dilakukan hanya mengejar angka namun mengabaikan kualitas dan
tindak lanjut dari inovasi itu sendiri (Djalal, 2002). Artinya, bahwa
inovasi yang dilakukan harus benar-benar mampu menyentuh permasalahan yang
berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses inovasi itu sendiri.
Akan sangat lucu bilamana “seorang guru” dengan bangganya menyatakan dirinya
telah melakukan inovasi dalam mengajarnya, dengan penerapan model atau metode
baru yang sedang “in”, namun setelah selesai melaksanakan langkah-langkah model
yang dimaksud, sang guru tidak melakukan analisis terhadap implikasi negative
maupun positif terhadap langkahnya tersebut. Sehingga terjadilah apa yang
disebut dengan “leg-innovation”. Bila pola-pola ini terus menjalar di kalangan
guru, dimana mereka adalah pengembang dan pelaksana kurikulum, maka bisa
diprediksi bagaimana jadinya pengelolaan pendidikan Indonesia pada level mikro maupun
makro kedepan nanti. Tindakan
inovatif bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja (Rogers,
1971). Pendidikan Indonesia saat ini, memenag memerlukan jiwa dan pemikiran
serta tindakan-tindakan yang inovatif dari berbagai insane, khususnya insane
pendidikan. Inovasi pendidikan akan sangat baik jika dilakukan oleh ujung
tombak keberhasilan pendidikan itu sendiri, yaitu guru. Guru dalam kapasitasnya
sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum, memiliki peluang dan integritas
yang tinggi untuk melakukan inovasi bagi kepentingan profesinya. Dalam konteks
instruksional, inovasi yang dilakukan oleh seorang guru, sekecil dan
sesederhana apapun dia, tetap akan berimplikasi secara signifikan terhadap
hasil dari profesi yang dilakoninya (Hasan, 2004). Di era “kompetensi” saat
ini, dimana hampir semua dimensi dan indicator pendidikan, selalu dikaitkan dan
kadang-kadang dipaksa dikaitkan dengan kompetensi, guru memiliki peran yang
sangat mendasar dalam menunjang berbagai inovasi yang dilakukan oleh
pemerintah, koleganya, maupun fihak-fihak lain, sehingga upaya perbaikan
terhadap mutu pendidikan tidak selamanya timpang (Kelly, 1993).
Bagian Dua: Inovasi Pembelajaran
Berpikir, bersikap, dan melakukan sesuatu “atas
nama inovasi” saat ini tengah menjadi tuntutan bagi semua pengembang dan pelaku
pendidikan. Kondisi ini
diperkuat lagi dengan menjelang diberlakukannya standar minimal kompetensi guru
oleh pemerintah secara nasional. Artinya, bahwa konsep dan aplikasi berbagai
strategi inovasi dalam konteks pendidikan mau tidak mau harus dilakukan oleh
para pengembang dan pelaksana kurikulum, yaitu guru. Paradigma baru pembangunan
pendidikan tinggi yang digariskan oleh pemerintah, seiring dengan pemberlakuan
otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna baru bagi setiap pelaku dan ”penikmat”
lulusan pendidikan tinggi (stake holder).
Pada Renstra Depdiknas tentang pendidikan tinggi,
dengan tegas telah digariskan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi harus
mengedepankan: keotonomian, kesehatan
organisasi, akuntabilitas, dan kemampuan daya saing. Untuk menterjadikan hal itu, semua komponen dalam mekanisme
sistim penyelenggaraan pendidikan tinggi ”harus berubah”, baik dari sisi
konstruk berpikir maupun performansi kerja. Dari beberapa kali bertugas
melakukan pendampingan, secara kasat mata dapat dilihat bahwa guru sudah mampu
mengembangkan silabus masing-masing terbukti dengan sudah adanya bukti silabus
dari masing-masing sekolah. Pendampingan berjalan relatif lancar sepanjang yang
diperlukan adalah penyelesaian silabus. Namun, pengamatan secara lebih mendalam
terhadap kesiapan guru-guru melakonkan apa yang ditulis dalam silabus,
menunjukkan keraguan apakah benar ’ruh’ KTSP telah dipahami oleh guru. Seperti
diketahui, KTSP merupakan kurikulum berbasis kompetensi, dimana tingkat
keberhasilannya sangat ditentukan oleh bagaimana kurikulum tersebut
terpentaskan di dalam kelas.
Dalam beberapa
kesempatan pertemuan dengan guru-guru SMP dalam kegiatan-kegiatan ilmiah
terungkap bahwa, kesiapan guru dalam mengimplementasikan KTSP baru pada sebatas
pembuatan silabus. Pelatihan yang selama ini diikuti, baik yang diselenggarakan
oleh Dinas Pendidikan setempat maupun oleh institusi pendidikan lainnya masih
sebatas sosialisasi konsep KTSP dan penulisan silabus. Guru-guru mengakui bahwa
mereka masih sangat membutuhkan pelatihan dalam mementaskan silabus tersebut di
dalam kelas, dengan kata lain, concept
and theory into practice. Selama ini konsep telah mereka dapatkan,
tetapi practice-nya yaitu ’the how’ masih sangat kabur bagi
mereka; paling tidak, hampir semua guru masih ragu apakah mereka benar-benar
dapat mementaskan KTSP sesuai dengan ’ruh’nya. UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005 dan PP Nomor 19 Tahun 2005
mengamanatkan bahwa pendidik (guru) adalah tenaga profesional. Sebagai tenaga
profesional, pendidik dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal
S1/D4 dalam bidang yang relevan dengan jenjang dan jenis pendidikan serta mata
pelajaran yang dibina pada pendidikan anak usia dini, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/
SMK, SDLB, SMPLB, atau SMALB. Di samping itu, pendidik sebagai agen
pembelajaran juga harus memiliki sertifikasi yang dibuktikan dengan sertifikat
profesi pendidik atau provesi guru.
Sertifikasi, sebagai proses pengujian dan
pemberian sertifikat pendidik, merupakan pekerjaan besar, mengingat jumlah guru
yang harus disertifikasi lebih dari 2,6 juta orang dan harus dapat diselesaikan paling lama 10 tahun
terhitung 30 Desember 2005. Pelaksanaan sertifikasi harus sudah dimulai pada akhir 2006. Komisi Internasional bagi
Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global
ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning
to be, dan learning to live together
(Delors, 1996). Dalam learning to know
peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan
yang diikuti. Dalam learning to do
peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang
dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu
keterampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan
kehidupan. Dalam learning to be,
peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu
apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta
didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling
menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling
ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar
pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang
menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk
bekal hidupnya.
Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga
acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam era reformasi untuk
menjawab tantangan global, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan
acuan lingkungan strategis. Acuan
filosofis, didasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris
tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis
pendidikan perlu memiliki karakteristik: (a) mampu mengembangkan kreativitas,
kebudayaan, dan peradaban; (b) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (c)
mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; dan
(d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang
koheren dengan nilai-nilai moral. Kesemua ini tidak terlepas dari cita-cita
pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yang disebut dengan masyarakat
madani.
Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan
aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari
jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada
tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan
keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu
dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran
berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat,
martabat dan kebanggaan. Pada
tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras,
sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri. Sebagai implikasi dari
globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan.
Perubahan tersebut menyangkut, pertama:
paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih
menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada
pembelajaran dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif
yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, maka peran guru berubah menjadi
fasilitator. Kedua, paradigma
proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan
format di dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel,
seperti pendidikan dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas
menjadi internasional). Keempat, semakin populernya
pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah
dan di luar sekolah.
Dalam kaitan dengan standar di
atas, bila mungkin kedelapan standar pendidikan nasional (SNP) bisa dipenuhi
oleh institusi pendidikan. Namun karena keterbatasan fasilitas, dana dan sumber
daya yang belum mungkin dipenuhi sesegera mungkin, maka secara skala perioritas
standar kompotensi lulusan (SKL),
standar isi (SI), standar proses, dan standar ,penilaian harus
dipenuhi. SKL menyangkut kualitas kompetensi lulusan suatu program pendidikan, sedangkan
SI menyangkut tiga hal yaitu standar
kompotensi (SK), kompotensi dasar (KD), dan struktur kurikulum. Sedangkan
standar proses menyangkut, pendekatan pembelajaran yang berbasis kompetensi
serta persyaratan pendukungnya, dan standar penilaian akan menyangkut asesmen
yang tepat digunakan untuk dapat mendorong tercapainya kompetensi yang
diharapkan.
Berbicara
penyusunan dan pengembangan KTSP secara murni, sebenarnya berorientasi pada
penyusunan dan pengembangan pendekatan pola induktif. Pola ini sangat tepat
digunakan untuk penyusunan kurikulum pada program persekolahan yang baru. Dalam
kenyataannya pada program-program akademik yang sudah berjalan dengan
pengalaman pengelolaan kurikulum yang
sudah cukup lama, dan dalam perjalanannya kurikulumnya diarahkan
berbasis kompetensi, pendekatan pola gabungan (deduktif-induktif) cocok untuk
digunakan. Maka dari itulah dalam SI tersebut menyangkut tiga komponen pokok
yaitu SK, KD, dan Struktur Kurikulum. Untuk lebih memperjelas konsep di atas
diwujudkan dalam diagram berikut :
Bagian Tiga: Pengembangan Kurikulum
Tujuan utama pengembangan
kurikulum adalah: membantu pemerintah dalam memobilisasi sumber daya lokal,
mengakomodasi keberagaman kultur dan kapabilitas masyarakat, meningkatkan nilai
demokrasi dan pemerataan dalam penyelenggaraan pendidikan, dan pembangunan
sumber daya manusia terdidik yang mandiri, profesional, dan kompetitif
(Lasmawan, 2008).
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang
terbalut dalam format KTSP diharapkan dapat menghasilkan: (1) pengelolaan
kurikulum yang dapat membantu mahasiswa mengembangkan potensi diri secara
optimal dan sesuai dengan tuntutan pangsa pasar, (2) peningkatan kualitas
lulusan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan sehingga sesuai dengan
kebutuhan riil di masyarakat, (3) pencapaian kompetensi dengan berorientasi
pada mastery learning yang berbasis pada penilaian otentik dan proses, (4)
sikap otonomi pengelolaan pembelajaran
dengan meningkatkan peranan jurusan dan staf guru dalam mengembangkan berbagai
inovasi demi peningkatan kualitas lulusan. Secara substantif, model KTSP menggunakan pola induktif dalam
penyusunannya yaitu, penyusunan kurikulum dan penentuan mata pelajaran
didasarkan pada pengalaman belajar yang harus diberikan pada peserta didik yang
dirumuskan dalam pencapaian kompetensi yang telah dirancang.
Bagi pengelolaan pendidikan yang
sedang berjalan dengan pengalaman yang memadai dalam mengaplikasikan kurikulum
dengan model subject matter dan dalam perkembangannya mengorientasikan
pelaksanaannya kurikulumnya berbasis kompetensi, maka pola pengembangan
kurikulumnya biasa menggunakan pola deduktif-induktif, sehingga pengembangan
kurikulumnya didasarkan pada penyusunan standar isi yang didalamnya menyangkut
standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), dan struktur kurikulum. Proses
pemunculan SK, KD dan struktur kurikulum secara diagramatis telah disampaikan
di atas.
Bertalian
dengan hal di atas, semua konsep tersebut harus diimplementasikan dalam
pembelajaran di kelas dalam keadaan riil. Untuk itu, langkah awal yang
dilakukan oleh guru adalah menterjemahkan struktur kurikulum (mata pelajaran)
menjadi Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP). Silabus, adalah rencana
pembelajaran dalam satu semester pada satu/suatu kelompok mata pelajaran
tertentu, yang minimal mencakup Standar kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator
Pencapaian, dan Materi Pokok. Pengalaman belajar yang termuat dalam RPP, akan
memandu guru untuk memilih dan menggunakan berbagai pendekatan/metode
pembelajaran yang cocok sehingga didapatkan oleh peserta didik pengalaman
belajar yang dimaksud. Perumusan pengalaman belajar tersebut merupakan kondisi
yang harus diterjadikan untuk dapat mencapai indikator pencapaian.
Indikator pencapaian merupakan isyarat tercapainya kompetensi dasar yang dirumuskan.
Sejalan
dengan konsep di atas, untuk memudahkan dan memfungsionalkan pembelajaran, maka
perlu dilakukan perampingan kurikulum. Hal ini penting dilakukan, untuk
memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada guru untuk berimprovisasi dan
berkreasi dalam melaksanakan pembelajaran. Cara yang bisa dilakukan untuk
perampingan tersebut adalah dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
(1)
Pemetaan standar kompetensi (SK) pada setiap kelas
dan/atau semester
(2)
Analisis karakteristik standar kompetensi per semester
(3)
Pemetaan kompetensi dasar (KD) pada setiap kelas dan/atau
semester
(4)
Analisis karakteristik KD pada setiap semester
(5)
Pengelompokan dan/atau pengalihan SK antar semester dalam
satuan kelas.
(6)
Pengelompokan dan/atau pengalihan KD mengikuti SK
(7)
Pemunculan topik atau tema/pokok bahasan baru yang
mencerminkan keterwakilan SK dan KD pada setiap semesternya.
(8)
Analisis karakteristik topik/tema baru
(9)
Identifikasi dan justifikasi feasibilitas sumber belajar
(10) Pemilihan dan penentuan
pendekatan dan/atau metode pembelajaran inovatif
(11) Penyusunan rencana
program pembelajaran (RPP)
(12) Analisis dan revisi RPP
(Lasmawan, 2009).
Posting Komentar